BAB 1
EKONOMI KREATIF DAN KETERBUKAAN
KETERBUKAAN
Keterbukaan adalah
sikap mental yang mendukung sistem pelaksanaan pemerintahan yang
transparan yang ciri-cirinya adalah kesediaan untuk memberikan informasi
yang benar dan terbuka terhadap masukan atau permintaan orang lain.
Konsep
Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru
yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide
dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor
produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia
mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi
berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin
Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban
ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang
ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah
gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat
yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide
dan gagasan kreatif.
Menurut
ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat
penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan
model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya
penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide
kecil-lah yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah instruksi yang
membuat kita mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya
terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu
negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang
digunakan dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.
Howkins
(2001) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran
gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996
ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan
sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya
seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru
telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum
kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan
desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset
kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos,
2007).
Di
Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita
dengarkan karenapengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998
usaha kecil telah terbukti mampumempertahankan kelangsungan usahanya,
bahkan memainkan fungsi penyelamatan dibeberapa sub-sektor kegiatan.
Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektorpenyediaan
kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi.
Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumberdaya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. Harapan ini menjadi semakin kuat ketika muncul keberanian untuk mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan UKM.
tentang faktor dominan apa yang membuat harapan tersebut tidak terwujud. Berbicara
mengenai
UKM di Indonesia menganut cakupan pengertian yang luas pada seluruh
sektor ekonomi termasuk pertanian, serta menggunakan kreteria aset dan
nilai penjualan sebagai ukuran pengelompokan sesuai UU Nomor 9/1995
tentang usaha kecil dan Inpres Nomor 10/1999 tentang pembinaan usaha
menengah.
Semangat baru dunia yang menggeluti usaha kecil dan menengah (SME) juga telah
berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa
depan. Pernyataan ini paling tidak telah menjadi kesadaran baru bagi kalangan pelaku
UKM di kawasan Asia Pacific sebagai mana mereka kemukakan di depan para Menteri
yang membidangi UKM forum APEC yang bertemu di kota Christchurch New Zealand
tahun 1999. Pengalaman, keyakinan dan harapan inilah yang kemudian menggelora
menjadi semangat yang terus didengungkan hingga saat ini.
1.2. Perkembangan Politik Pengembangan Ekonomi Arus Bawah
Sebenarnya
sejak kemerdekaan upaya memperkuat ekonomi masyarakat lapis bawah atau
pernah secara eksplisit disebut perekonomian rakyat ditekankan pada tiga
sektor yaitu:
· pertanian termasuk perkebunan dan perikanan, perdagangan terutama perdagangan eceran
· dan
perindustrian rakyat. Sementara infrastruktur perkuatan keuangan masih
sering dikaitkan dengan pembangunan pemerintahan di dalam negeri
sehingga di masing-masing desa yang sudah maju dilengkapi dengan lembaga
keuangan milik desa.
Pada masa itu secara kelembagaan upaya meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat
diperkuat
dengan perhatian khusus melalui pengembangan Koperasi pada sektor
pertanian dan industri kerajinan. Dan pemerintah ketika itu membentuk
Direktorat kemudian
meningkat menjadi Direktorat Jenderal Koperasi yang pernah dikaitkan dengan
Departemen Dalam Negeri, Departemen Transmigrasi dan bahkan Departemen Koperasi tersendiri.
Pada
masa awal orde baru hingga akhir Repelita I keadaannya masih hampir
sama. Hanya secara khusus dilahirkan Instruksi Presiden No. 4/1973
tentang Badan Usaha Unit Usaha yang meskipun formatnya luas tetapi pada
dasarnya tetap memecahkan masalah ekonomi beras. Keadaan ini berjalan
dan untuk menampung perluasan dan pengembangan
Pada
sektor industri terutama industri kerajinan rakyat dan rumah tangga
yang kemudian disebut dengan industri kecil secara khusus juga mendapat
perhatian. Perkembangan hingga akhir Repelita II masih tetap sama. Pada
tahun 1978 untuk meningkatkan peran perekonomian arus bawah di luar
aspek sektoral teknis diangkatlah dua Menteri Muda
yang ditugasi membantu dalam hal penggunaan produksi dalam negeri dan urusan
koperasi.
Menteri Muda Urusan Koperasi juga ditugasi mengkordinir pembinaan
pengusaha golongan ekonomi lemah dalam rangka pelaksanaan peningkatan
penggunaan produksi dalam negeri. Pembinaan pengusaha golongan ekonomi
lemah (PEGEL) menjadi meluas dan terkait dengan kelembagaan koperasi,
sehingga berkembang koperasi pedagang pasar.
Pada tahun 1983 hingga 1993 pola ini terus diperluas dan dilanjutkan hingga lahirlah
perhatian
secara khusus kepada industri kecil dengan terbentuknya Badan
Pengembagan Industri Kecil (BIPIK) pada Departemen Perindustrian. Namun
pada masa 1983 dibentuk pula Departemen Koperasi yang bekerjasama secara
erat dengan Departemen Perindustrian dan Departemen Tenaga Kerja yang
kemudian terkenal dengan TRIO SUBUH yaitu Sudomo-Bustanil-Hartarto yang
menjadi landasan pengembangan industri kecil yang terkait dengan
penciptaan lapangan kerja dengan dukungan kelembagaan koperasi.
secara khusus industri kecil dan kemudian meluas pada sektor yang lain seperti
perdagangan
dan sektor lainnya. Keputusan politik akhirnya ditetapkan ketika
Presiden Soeharto menyusun Kabinet Pembangunan VI dengan merubah
Departemen Koperasi menjadi Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha
Kecil sehingga kemudian dibentuk Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha
Kecil. Selanjutnya khusus untuk pembinaan usaha kecil ditangani dengan
membentuk Direktorat Jenderal Industri Kecil. Pada masa reformasi di
bawah kepemimpinan Presiden Habibie tugas Departemen Koperasi diperluas
lagi dengan lingkup koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.
Selanjutnya
pada masa Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid Departemen Koperasi
dan PKM dirubah menjadi Kementerian Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil
dan Menengah.
Untuk menangani program operasional dibentuk Badan Pengembangan
Sumberdaya
Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) yang dipimpin oleh
Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah. Dalam masa
ini 1999- 2001 sebenarnya dilakukan pemisahan antara penyusunan
kebijakan dan koordinasi program pengembangan UKM dengan program
operasional. Dalam hal ini Kementerian menjalankan kebijkaan dan
BPS-KPKM menjalankan program operasional pengembangan UKM. Namun masa
itu hanya berlangsung sebentar dan Presiden Megawati Sukarnoputri
kemudian menghapuskan BPS-KPKM dan menggabungkannya kedalam Kementerian
Koperasi dan UKM. Keracuan antara tugas operasional dan penyusunan
kebijakan bercampur aduk dan praktis penyelesaian kebijakan banyak yang
terbengkalai. Dalam masa Kabinet Indonesia Bersatu formatnya masih tetap
sama tetapi peraturan Presiden yang mengatur organisasi Kementerian
tidak memberikan peluang
untuk
menjalankan secara langsung dan lugas kegiatan operasional. Sampai
dengan posisitahun 2005 ini praktis struktur birokrasi pemberdayaan
koperasi dan UKM tingkatnasional masih sama, hanya pada tingkat daerah
seluruh instansi di daerah telah menjadi lembaga daerah.
ARAH DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Era
reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma
pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma
pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan
paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah
dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket
undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan
pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua
hal. Pertama, otonomi
daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal
bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan,
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan
masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua,
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis
bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan
memperkuat basis perokonomian daerah.
Otonomi
yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada
pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab
akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal
yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk
mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan
kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran
dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara penuh kepada daerah
kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah
diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi,
mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan
semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian
akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya
berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, daricommand and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan
peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur(wirausaha) dalam proses pembangunan.
Arahan
yang diberikan oleh UU No 22 Tahun 1999 sudah sangat baik. Tetapi
benarkah ia dapat mewujudkan pemerintah daerah otonom yang efisien,
efektif, transparan, dan akuntabel secara berkesinambungan? Jawabannya
tergantung pada formula atau rumusan yang diberikan oleh
peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
Apabila semua peraturan pelaksanaan tersebut sudah searah dengan
undang-undang tersebut maka kemungkinan untuk mencapai tujuan tersebut
akan semakin besar.
OTONOMI DAERAH SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT BASIS PEREKONOMIAN DAERAH
Saat
ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap
negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan
yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu
mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global. Salah satu implikasi
dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan masyarakat yang semakin
tinggi terhadap efisiensi, dan efektivitas sektor publik (pemerintahan).
Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya
tidak efisien.
Pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas,
dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah
dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa
mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan
kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik
daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu
meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya
terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah
tersebut, yaitu:
- Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
- Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
- Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Dari
aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara
hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money),
perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah.
Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh
internal auditor maupun oleh
eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan
transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat
Laporan Keuangan yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua
lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya.sumber :
http://cindyyulenda.blogspot.com/2011/01/makalah-pkn.htm