Rabu, 26 Maret 2014

BAB 1
EKONOMI KREATIF DAN KETERBUKAAN

KETERBUKAAN


Keterbukaan adalah sikap mental yang mendukung sistem pelaksanaan pemerintahan yang transparan yang ciri-cirinya adalah kesediaan untuk memberikan informasi yang benar dan terbuka terhadap masukan atau permintaan orang lain.
Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan  ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang  merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.

Menurut ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecil-lah yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah instruksi yang membuat kita mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang digunakan dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.
Howkins (2001) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007).

 Di Indonesia harapan untuk membangkitkan ekonomi rakyat sering kita dengarkan karenapengalaman ketika krisis multidimensi tahun 1997-1998 usaha kecil telah terbukti mampumempertahankan kelangsungan usahanya, bahkan memainkan fungsi penyelamatan dibeberapa sub-sektor kegiatan. Fungsi penyelamatan ini segera terlihat pada sektor-sektorpenyediaan kebutuhan pokok rakyat melalui produksi dan normalisasi distribusi.
Bukti tersebut paling tidak telah menumbuhkan optimisme baru bagi sebagian besar orang yang menguasai sebagian kecil sumberdaya akan kemampuannya untuk menjadi motor pertumbuhan bagi pemulihan ekonomi. Harapan ini menjadi semakin kuat ketika muncul keberanian untuk mempercepat pemulihan dengan motor pertumbuhan UKM. 
tentang faktor dominan apa yang membuat harapan tersebut tidak terwujud. Berbicara
mengenai UKM di Indonesia menganut cakupan pengertian yang luas pada seluruh sektor ekonomi termasuk pertanian, serta menggunakan kreteria aset dan nilai penjualan sebagai ukuran pengelompokan sesuai UU Nomor 9/1995 tentang usaha kecil dan Inpres Nomor 10/1999 tentang pembinaan usaha menengah.

Semangat baru dunia yang menggeluti usaha kecil dan menengah (SME) juga telah
berketetapan hati untuk menjadikan UKM sebagai motor pertumbuhan ekonomi di masa
depan. Pernyataan ini paling tidak telah menjadi kesadaran baru bagi kalangan pelaku
UKM di kawasan Asia Pacific sebagai mana mereka kemukakan di depan para Menteri
yang membidangi UKM forum APEC yang bertemu di kota Christchurch New Zealand
tahun 1999. Pengalaman, keyakinan dan harapan inilah yang kemudian menggelora
menjadi semangat yang terus didengungkan hingga saat ini.

1.2. Perkembangan Politik Pengembangan Ekonomi Arus Bawah



Sebenarnya sejak kemerdekaan upaya memperkuat ekonomi masyarakat lapis bawah atau pernah secara eksplisit disebut perekonomian rakyat ditekankan pada tiga sektor yaitu:
·         pertanian termasuk perkebunan dan perikanan, perdagangan terutama perdagangan eceran
·         dan perindustrian rakyat. Sementara infrastruktur perkuatan keuangan masih sering dikaitkan dengan pembangunan pemerintahan di dalam negeri sehingga di masing-masing desa yang sudah maju dilengkapi dengan lembaga keuangan milik desa.

Pada masa itu secara kelembagaan upaya meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat
diperkuat dengan perhatian khusus melalui pengembangan Koperasi pada sektor pertanian dan industri kerajinan. Dan pemerintah ketika itu membentuk Direktorat kemudian
meningkat menjadi Direktorat Jenderal Koperasi yang pernah dikaitkan dengan
Departemen Dalam Negeri, Departemen Transmigrasi dan bahkan Departemen Koperasi tersendiri.
Pada masa awal orde baru hingga akhir Repelita I keadaannya masih hampir sama. Hanya secara khusus dilahirkan Instruksi Presiden No. 4/1973 tentang Badan Usaha Unit Usaha yang meskipun formatnya luas tetapi pada dasarnya tetap memecahkan masalah ekonomi beras. Keadaan ini berjalan dan untuk menampung perluasan dan pengembangan

Pada sektor industri terutama industri kerajinan rakyat dan rumah tangga yang kemudian disebut dengan industri kecil secara khusus juga mendapat perhatian. Perkembangan hingga akhir Repelita II masih tetap sama. Pada tahun 1978 untuk meningkatkan peran perekonomian arus bawah di luar aspek sektoral teknis diangkatlah dua Menteri Muda
yang ditugasi membantu dalam hal penggunaan produksi dalam negeri dan urusan
koperasi.  Menteri Muda Urusan Koperasi juga ditugasi mengkordinir pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam rangka pelaksanaan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah (PEGEL) menjadi meluas dan terkait dengan kelembagaan koperasi, sehingga berkembang koperasi pedagang pasar.
Pada tahun 1983 hingga 1993 pola ini terus diperluas dan dilanjutkan hingga lahirlah
perhatian secara khusus kepada industri kecil dengan terbentuknya Badan Pengembagan Industri Kecil (BIPIK) pada Departemen Perindustrian. Namun pada masa 1983 dibentuk pula Departemen Koperasi yang bekerjasama secara erat dengan Departemen Perindustrian dan Departemen Tenaga Kerja yang kemudian terkenal dengan TRIO SUBUH yaitu Sudomo-Bustanil-Hartarto yang menjadi landasan pengembangan industri kecil yang terkait dengan penciptaan lapangan kerja dengan dukungan kelembagaan koperasi.

secara khusus industri kecil dan kemudian meluas pada sektor yang lain seperti
perdagangan dan sektor lainnya. Keputusan politik akhirnya ditetapkan ketika Presiden Soeharto menyusun Kabinet Pembangunan VI dengan merubah Departemen Koperasi menjadi Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil sehingga kemudian dibentuk Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil. Selanjutnya khusus untuk pembinaan usaha kecil ditangani dengan membentuk Direktorat Jenderal Industri Kecil. Pada masa reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Habibie tugas Departemen Koperasi diperluas lagi dengan lingkup koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.
Selanjutnya pada masa Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid Departemen Koperasi dan PKM dirubah menjadi Kementerian Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah.

Untuk menangani program operasional dibentuk Badan Pengembangan
Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) yang dipimpin oleh Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah. Dalam masa ini 1999- 2001 sebenarnya dilakukan pemisahan antara penyusunan kebijakan dan koordinasi program pengembangan UKM dengan program operasional. Dalam hal ini Kementerian menjalankan kebijkaan dan BPS-KPKM menjalankan program operasional pengembangan UKM. Namun masa itu hanya berlangsung sebentar dan Presiden Megawati Sukarnoputri kemudian menghapuskan BPS-KPKM dan menggabungkannya kedalam Kementerian Koperasi dan UKM. Keracuan antara tugas operasional dan penyusunan kebijakan bercampur aduk dan praktis penyelesaian kebijakan banyak yang terbengkalai. Dalam masa Kabinet Indonesia Bersatu formatnya masih tetap sama tetapi peraturan Presiden yang mengatur organisasi Kementerian tidak memberikan peluang


untuk menjalankan secara langsung dan lugas kegiatan operasional. Sampai dengan posisitahun 2005 ini praktis struktur birokrasi pemberdayaan koperasi dan UKM tingkatnasional masih sama, hanya pada tingkat daerah seluruh instansi di daerah telah menjadi lembaga daerah.

 ARAH DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perokonomian daerah.
Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, daricommand and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur(wirausaha) dalam proses pembangunan.
Arahan yang diberikan oleh UU No 22 Tahun 1999 sudah sangat baik. Tetapi benarkah ia dapat mewujudkan pemerintah daerah otonom yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel secara berkesinambungan? Jawabannya tergantung pada formula atau rumusan yang diberikan oleh peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Apabila semua peraturan pelaksanaan tersebut sudah searah dengan undang-undang tersebut maka kemungkinan untuk mencapai tujuan tersebut akan semakin besar. 
 
OTONOMI DAERAH SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT BASIS PEREKONOMIAN DAERAH
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap efisiensi, dan efektivitas sektor publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
  1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
  2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
  3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor  maupun oleh eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan  khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya.
sumber : 
http://cindyyulenda.blogspot.com/2011/01/makalah-pkn.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar